Eks Menag Yaqut Diperiksa Lagi oleh KPK Baru saja, KPK kembali memanggil eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas untuk kasus korupsi kuota haji yang kini jadi sorotan publik. Ini bukan pertama kalinya mantan pejabat tersebut diperiksa, tapi kini langkahnya semakin mendekati penjelasan lengkap di balik kebijakan yang dianggap menimbulkan kerugian besar. Nah, kisah ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama—sejak kuota haji tambahan 20 ribu jemaah diberikan pada 2024. Tapi sekarang, akhirnya terkuak detailnya, dan Yaqut menjadi pusat perhatian. Kuota Tambahan yang Bukan untuk Semua Kuota haji tambahan tersebut sebenarnya ditujukan untuk mengurangi antrean jemaah reguler yang bisa mencapai 20 tahun. Tapi, ada yang aneh. Bukan hanya Yaqut yang disebut terlibat, tapi juga kebijakan pembagian kuota yang dinilai tidak seimbang. Dalam satu penyidikan, KPK menyebut kuota tambahan dibagi rata, tanpa memperhatikan prioritas. “Benar, dalam lanjutan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait kuota haji, hari ini Selasa (16/12), dijadwalkan pemanggilan pemeriksaan terhadap Saudara YCQ, Menteri Agama periode 2020-2024,” kata jubir KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Selasa (16/12/2025). Menurut Budi, Yaqut telah dua kali dipanggil KPK untuk kasus ini. Tapi, kini pemeriksaan lebih intensif, dengan rencana mengungkap siapa di balik kebijakan yang membuat 8.400 jemaah reguler gagal berangkat meski sudah mengantre selama 14 tahun. Yang menarik, kuota tambahan itu justru terbongkar sebagai “titipan” dari lobi-lobi yang mungkin tidak sepenuhnya transparan. Kebijakan yang Tidak Sesuai UU KPK menyebut kuota haji khusus seharusnya hanya 8 persen dari total kuota. Tapi, selama masa jabatan Yaqut, pembagian kuota tambahan justru merugikan jemaah reguler. Jumlah kuota reguler jadi 213.320, sedangkan kuota khusus mencapai 27.680. Padahal, 20 ribu kuota tambahan seharusnya dialokasikan lebih efisien untuk mengurangi penantian. “Ya, ditunggu saja. Saya, kami waktu itu, minggu lalu ya pengiriman suratnya, kemungkinan di minggu ini,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (25/12). Asep mengakui pemeriksaan terhadap Yaqut akan dilakukan pekan ini. Tapi, apakah akan ada saksi tambahan yang diperiksa? Pertanyaan itu pun menanti jawaban. Sementara itu, KPK sudah menyita beberapa aset, termasuk mobil dan uang dolar, yang jadi bukti awal dalam penyelidikan ini. Tapi, apakah itu cukup untuk menyelamatkan nama baik Kementerian Agama? Implikasi Besar dari Kebijakan yang Gagal Kasus ini bukan hanya soal penggunaan kuota haji, tapi juga soal transparansi dan keadilan. Dugaan kerugian negara mencapai Rp 1 triliun, yang bisa dibilang cukup signifikan. Bagi jemaah haji, artinya mereka kehilangan peluang berangkat karena kuota yang dianggap tidak adil. Mereka yang sudah menunggu hampir dua dekade, akhirnya terbukti tidak menerima manfaat dari kuota tambahan yang seharusnya menjadi solusi. “Kasus dugaan korupsi yang diusut KPK ini terkait pembagian tambahan 20 ribu jemaah untuk kuota haji tahun 2024 atau saat Yaqut Cholil Qoumas menjabat Menteri Agama.” Ternyata, ada kebijakan era Yaqut yang mengubah dinamika kuota haji. Jumlah total kuota haji RI tahun 2024 meningkat dari 221 ribu menjadi 241 ribu, tapi distribusi tambahan justru tidak sesuai dengan peraturan. Jemaah reguler yang seharusnya mendapat prioritas malah terpinggirkan, sementara kuota khusus—yang lebih kecil jumlahnya—malah mendapat porsi besar. Ini menjadi pertanyaan besar: Apakah ada tindakan korupsi yang tersembunyi di balik lobi-lobi tersebut? Kisah yang Masih Belum Selesai Sebagai penutup, kasus Yaqut ini menjadi cermin bagaimana kebijakan yang terkesan sederhana bisa menimbulkan konsekuensi besar. Selain itu, KPK juga menyita rumah dan mobil terkait penyelidikan ini. Ini adalah langkah awal dalam upaya mengungkap siapa pelaku utama korupsi kuota haji. Masyarakat kini menanti jawaban yang tegas, karena keadilan dalam penyelenggaraan haji menjadi salah satu simbol kepercayaan publik terhadap pemerintah. Yang jelas, pemanggilan Yaqut bukan akhir dari cerita ini. Justru, ini bisa menjadi awal dari pengungkapan lebih luas—terutama soal siapa yang benar-benar menguntungkan diri sendiri dari kuota tambahan yang seharusnya untuk rakyat. Mari kita saksikan bagaimana penyelidikan KPK ini berjalan, dan apakah akan ada kejutan besar di baliknya.
Yang Dibahas: Penegasan Prabowo soal Desakan Tetapkan Bencana Nasional
Bencana di Sumatera: Prabowo Berjanji Pemulihan Akan Cepat Berhasil? Nah, Anda tahu tidak, bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir-akhir ini jadi sorotan. Banyak pihak yang menyarankan pemerintah menyatakan status darurat nasional. Tapi, Presiden Prabowo Subianto justru memberi penegasan yang mengejutkan. Ia tak hanya menegaskan bahwa situasi masih terkendali, tapi juga menyiapkan rencana pemulihan yang jelas dan terstruktur. Apa yang membuat Prabowo yakin bencana bisa cepat tertangani? Desakan Status Darurat: Siapa yang Benar-Benar Butuh? Di Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Senin (15/12/2025), Prabowo menyebut ada pihak yang teriak-teriak ingin bencana di Sumatera dinyatakan sebagai bencana nasional. Tapi, menurutnya, status itu bukan solusi yang instan. “Kita sudah kerahkan, ini tiga provinsi dari 38 provinsi. Jadi, situasi terkendali,” tegas Prabowo dalam penggalan pidatonya. Apakah desakan ini hanya buatannya para pemangku kepentingan, atau benar-benar ada kebutuhan mendesak? “Ada yang teriak-teriak ingin ini dinyatakan bencana nasional. Kita sudah kerahkan, ini tiga provinsi dari 38 provinsi. Jadi, situasi terkendali. Saya monitor terus, ya,” Prabowo memang selalu tegas. Ia tidak ingin menyebut status darurat nasional tanpa alasan yang jelas. Tapi, ia juga berharap adanya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dan daerah. “Jangan ada alasan cari lahan dan sebagainya. Pakai lahan milik negara yang ada,” ujarnya. Bagaimana jika provinsi daerah justru belum siap mengelola bantuan? Apakah Prabowo sudah memikirkan hal itu? Pemulihan Pasca Bencana: Rencana 2.000 Rumah Sementara dan Tetap Prabowo juga memastikan bahwa pemerintah telah mempersiapkan langkah-langkah pemulihan yang sistematis. “Kita sudah merencanakan segera akan kita bentuk, apakah kita namakan badan atau Satgas, rehabilitasi dan rekonstruksi,” katanya. Langkah ini diharapkan bisa memberi rasa aman kepada warga yang masih terdampak. Tapi, jadwalnya kapan? Bahkan, ia menyebut bahwa pembangunan 2.000 hunian tetap bisa dimulai segera. “Kemungkinan rumah ini bisa langsung aja jadi rumah tetap,” “Dan kita sudah merencanakan segera akan kita bentuk, apakah kita namakan badan atau Satgas, rehabilitasi dan rekonstruksi. Segera kita akan bangun hunian-hunian sementara dan hunian-hunian tetap,” Yang menarik, Prabowo tidak hanya menyoroti bangunan, tapi juga partisipasi semua unsur. “Semua unsur juga nanti bekerja sama,” ujarnya. Apakah ini berarti pemerintah akan menggerakkan semua kementerian dan lembaga untuk berperan? Sebagai presiden, ia punya kewenangan untuk memastikan itu terjadi. Tapi, ada tantangan besar: membangun 2.000 rumah dalam waktu singkat, sambil memastikan distribusi bantuan yang adil. Anggaran dan Efisiensi: Rp 268 M Sudah Masuk, Tapi Cukupkah? Bencana seringkali membuat anggaran menjadi “ledakan” besar. Tapi Prabowo malah menyebut bahwa pemerintah justru berhasil menghemat ratusan triliun rupiah sejak awal pemerintahannya. “Anggaran ini kita siapkan karena memang uangnya ada,” katanya. Dengan efisiensi itu, ia yakin APBN mampu membiayai pemulihan pascabencana. Tapi, angka Rp 268 M yang sudah masuk ke Pemda, apakah cukup untuk mengatasi kebutuhan warga? “Jadi, sekarang ini saatnya terus kita bekerja sangat keras. Anggaran APBN sudah kita siapkan dan saya katakan bahwa anggaran ini kita siapkan karena memang uangnya ada. Dan uangnya ada karena justru pemerintah kita yang saya pimpin, di awal pemerintah kita, kita menghemat ratusan triliun,” Kemampuan pemerintah mengelola anggaran menjadi salah satu faktor keberhasilan pemulihan. Prabowo menegaskan bahwa efisiensi bukan sekadar menyisihkan uang, tapi juga untuk memastikan dana bisa digunakan secara optimal. Tapi, pertanyaannya tetap ada: apakah 268 miliar rupiah itu sudah bisa mencakup kebutuhan mendasar warga, atau masih perlu dukungan lebih besar dari daerah? Penguasaan Lapangan: 50 Ribu Personel TNI-Polri Hadir di Lokasi Bencana membutuhkan kehadiran nyata. Prabowo memastikan bahwa pemerintah tidak hanya berbicara, tapi juga bertindak. “Kita sudah mengerahkan lebih dari 50.000 TNI dan Polri. Itu setingkat 50 batalion sudah dikerahkan di daerah terdampak,” ujarnya. TNI-Polri menjadi pilar utama dalam upaya penyelamatan dan distribusi bantuan. Tapi, jumlah yang besar itu juga bisa memicu kelelahan. Apakah kekuatan penuh ini sudah cukup, atau masih ada kekurangan? “Kita sudah mengerahkan lebih dari 50.000 TNI dan Polri. Itu setingkat 50 batalion sudah dikerahkan di daerah terdampak. Kalau dibilang negara tidak hadir, ah, ya, kita waspada saja,” Prabowo juga menyebut bahwa operasi lapangan didukung oleh lebih dari 60 helikopter dan belasan pesawat yang beroperasi setiap hari. Ini menunjukkan koordinasi yang baik antara lembaga negara dan kementerian terkait. Tapi, apakah sumber daya itu cukup untuk mengatasi kebutuhan 200.000 korban? Pemulihan pascabencana bukan hanya soal bangunan, tapi juga soal kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Prabowo ingin menegaskan bahwa kehadiran negara adalah jaminan untuk mempercepat proses penyelamatan.



